SERAMBI.WAHANANEWS.CO, Subulussalam - Sidang dugaan korupsi pencairan ganda proyek di Dinas Pertanian Kota Subulussalam tahun 2019 terus menyita perhatian publik. Fakta persidangan justru membuka dugaan adanya praktik sistematis, keterlibatan sejumlah pejabat, hingga indikasi jaksa penuntut umum (JPU) membela pihak-pihak tertentu.
Menurut keterangan mantan Sekretaris Dinas Keuangan Kota Subulussalam, Saiful Hanif, awal mula kasus ini terjadi pada April 2019.
Baca Juga:
Mantan Pj Wali Kota Pekanbaru Muflihun Siap Terima Hukuman Kasus Dugaan Korupsi
Saat itu, Darmawansyah rekanan dari CV Azka mendatangi IS selaku bendahara Dinas Pertanian. Ia membawa kontrak proyek jalan produksi dan saluran irigasi di Kecamatan Penanggalan, meski kontrak tersebut belum ditandatangani Pejabat Pembuat Komitmen (PA).
Bendahara kemudian memasukkan data kontrak ke sistem dan mengajukan Surat Penyediaan Dana (SPD) ke Dinas Keuangan. Fakta persidangan mengungkap, Darmawansyah menyuap H, Kabid Anggaran, untuk meloloskan penerbitan SPD. Selanjutnya, bendahara meng-entry SPP dan SPM atas nama CV Azka.
Namun, SPP dan SPM tersebut dipalsukan. Tanda tangan PPTK di SPP serta tanda tangan PA di SPM ditiru langsung oleh Darmawansyah. Dokumen palsu ini kemudian diproses ke Dinas Keuangan hingga terbit SP2D.
Baca Juga:
Dua Kasus Korupsi Dana Desa di Nias Barat P21, Penyidik Limpahkan ke JPU
Rangkaian Suap: Dari Kabid Hingga Penguji SP2D
Di Dinas Keuangan, Darmawansyah tidak hanya menyerahkan dokumen, tetapi juga membagi-bagikan uang ke sejumlah pejabat.
Uang diberikan kepada R dan F di ruang Kuasa BUD, lalu kepada S, penguji SP2D, serta FA yang menandatangani dokumen.
Fakta persidangan mencatat dua pencairan:
*10 April 2019– Pencairan pertama
*14 April 2019– Pencairan kedua
Menariknya, tanda tangan paraf kiri pada SP2D baik untuk CV Azka maupun CV Akom ternyata ditulis oleh orang yang sama. Darmawansyah menyebut S sebagai pencetak SP2D, namun S membantah di persidangan. Anehnya, jaksa tidak menelusuri lebih jauh siapa sebenarnya yang mencetak dokumen tersebut.
Penghapusan Jejak di SIMDA
Setelah dana cair, jejak transaksi dihapus dari sistem. SP2D dihapus dari SIMDA, kemudian bendahara pertanian menghapus SPM, SPP, dan kontrak CV Azka.
Jaksa sempat membantah hal ini di pengadilan, tetapi saksi ahli menegaskan bahwa perubahan hanya dapat dilakukan setelah penghapusan.
Tak berhenti di situ, bendahara kemudian meng-entry kontrak baru atas nama CV Akom dengan nomor dokumen yang sama. SP2D untuk CV Akom kembali cair pada Juli 2019.
Terbongkar Setelah 7 Bulan
Kasus ini baru terungkap pada November 2019 setelah FA melaporkan adanya pembayaran ganda kepada Sekretaris Dinas Keuangan, Saiful Hanif. Percakapan Saiful Hanif dengan bendahara pertanian yang terekam memperkuat fakta bahwa bendahara meminta F menghapus SP2D.
Dalam rekaman, Saiful Hanif terdengar menyarankan agar bendahara menghubungi Darmawansyah untuk mengembalikan dana tersebut. Namun, di persidangan, bendahara mengaku bukan dirinya yang berbicara dalam rekaman, meski sebelumnya sempat mengakui dipanggil Saiful Hanif.
Hakim Cium Keterlibatan Bendahara
Majelis hakim sampai tiga kali mengingatkan bahwa bendahara Dinas Pertanian berpotensi dijadikan tersangka.
Namun hingga kini, bendahara tetap aman, tidak pernah dijadikan terdakwa, bahkan seolah mendapat perlindungan hukum.
Hal ini menimbulkan pertanyaan serius: ada apa dengan jaksa di Subulussalam? ujar Saiful Hanif.
Aliran Dana: 7 Orang Menikmati, Saiful Hanif Jadi Tumbal
Dalam putusan perkara Darmawansyah (halaman 112–114), majelis hakim menyebut aliran dana dinikmati oleh Darmawansyah dan enam orang lainnya.
Sementara dalam putusan terhadap Saiful Hanif (halaman 105), hakim menegaskan bahwa Saiful Hanif tidak menerima sepeser pun hasil korupsi.
Ironisnya, Saiful Hanif justru ditetapkan sebagai terdakwa. Ia dituding lalai, sementara nama-nama lain yang jelas menerima aliran dana sama sekali tidak tersentuh hukum.
Dugaan Suap di Balik Skandal
Rangkaian persidangan ini menguatkan dugaan adanya rekayasa hukum. Bendahara Dinas Pertanian yang terbukti berperan aktif tetap aman, sementara Saiful Hanif yang tidak menikmati aliran dana dijadikan tumbal.
Kuat dugaan ada intervensi jaksa, terutama ketika JPU berusaha membela bendahara dengan menyebut penghapusan dokumen sebagai sekadar “perubahan”.
Kasus ini menjadi potret nyata bagaimana praktik korupsi di daerah tidak hanya merugikan keuangan negara, tetapi juga mencederai rasa keadilan.
“Pertanyaan publik pun mengemuka: benarkah ada suap kepada aparat penegak hukum untuk melindungi pihak-pihak tertentu sebagaimana ditudingkan Saiful Hanif? Dan sampai kapan bendahara Dinas Pertanian akan terus dibiarkan aman?” tegas Saiful Hanif.
[Redaktur: Amanda Zubehor]