WahanaNews-Serambi | Pernyataan seorang menteri yang mengkritik toilet di stasiun pengisian bahan bakar untuk umum berbayar membuka diskusi tentang kondisi sanitasi publik di negeri ini.
Meskipun relatif terus membaik, hingga saat ini layanan toilet dan sistem sanitasi higienis belum merata.
Baca Juga:
Eks Menlu RI Retno Marsudi Diangkat jadi Dewan Direksi Perusahaan Energi Singapura
Bahkan di kawasan perkotaan.
Di negara lain, seperti China, revolusi toilet menjadi program prioritas yang digenjot sejak sekitar satu dekade lalu.
Di Indonesia, hingga sekitar 15 tahun lalu, toilet umum seperti sebuah mimpi buruk.
Baca Juga:
Buka Kejuaraan Nasional Renang Antar Klub Se-Indonesia, Wamenpora Harap Dapat Lahirkan Atlet Berprestasi
Fasilitas ini biasa terletak di luar bangunan inti atau di sudut gedung yang sebisa mungkin dihindari.
Bau menyengat, air tidak tersedia, dan saluran sering mampet melekat erat.
Di pusat belanja, pasar, SPBU, taman kota, bahkan tempat ibadah, biasa ditemukan toilet tak layak, cenderung menjijikkan.
Toilet di SPBU menjadi salah satu yang paling dikeluhkan, menjadi sebuah fasilitas yang paling sering dikunjungi pengguna jalan.
Antrean sering kali tak terhindarkan ketika hendak membuang hajat saat sedang dalam perjalanan.
Lambat laun, perubahan terjadi.
Setidaknya di Jawa.
Pada tahun 2004, sebuah SPBU di Kota Tegal, Jawa Tengah, memecahkan rekor Museum Rekor-Dunia Indonesia (Muri) dengan menyediakan toilet bersih terbanyak, hingga 107 unit.
Toilet itu terletak di area SPBU 4452108 di Jalan Raya Dampyak, Tegal, arah Kota Semarang.
Di awal tahun 2000 itu memang ada semacam gerakan massal toilet bersih di SPBU yang dibarengi pembangunan tempat ibadah, seperti mushala dan masjid, serta rumah warga di sepanjang pantura yang menyediakan kamar kecilnya untuk umum saat masa mudik Lebaran atau libur panjang.
Perusahaan pemilik produk pembersih toilet menjadi salah satu motor perubahan ini yang jorjoran mensponsori gerakan toilet bersih.
Seiring waktu, warga metropolitan semakin memuja toilet higienis nan modern setelah mal-mal di Jakarta dan sekitarnya, serta kota-kota besar lain, menghadirkan fasilitas kamar kecil yang didesain cantik, mewah, dan menarik.
Dan, tentu saja wangi.
Tak perlu heran jika ada warganet percaya diri memasang swafoto saat berdandan di toilet mal.
Kesadaran tentang pentingnya toilet bersih meluas.
Ketika penataan stasiun dan layanan kereta komuter mulai digas sekitar tahun 2010, fasilitas toiletnya pun dibenahi.
Di Ibu Kota, sejak 2012 hingga kini, toilet bersih dikenalkan kepada publik secara luas seiring maraknya revitalisasi waduk dan situ yang lantas juga menjadi taman kota, pembangunan ruang publik terbuka ramah anak, dan revitalisasi pasar tradisional.
Kawasan tetangga DKI Jakarta buru-buru mengekor langkah ini.
Gegar budaya terjadi.
Ketika pertama kali WC duduk dan urinoar diperkenalkan di pusat-pusat belanja modern, banyak didapati pengunjung yang kebingungan bagaimana cara menggunakannya dengan tepat.
Ada bekas tapak sepatu di tepian dudukan toilet, air membasahi lantai yang seharusnya tetap kering, WC tidak disiram --mungkin bingung harus menekan atau menarik tombol yang mana, hingga tisu toilet dibuang sembarangan, berceceran.
Perlahan, perilaku masyarakat di toilet pun membaik meskipun tetap ada yang masih sulit beradaptasi sampai sekarang.
Penyediaan toilet umum bersih memang bukan semata untuk melayani warga.
Kehadiran fasilitas kamar kecil higienis itu menjadi ajang edukasi gaya hidup sehat dan aman bagi diri sendiri, orang lain, dan lingkungan.
Warga dipaksa belajar bagaimana antre, menggunakan tisu dan air secukupnya, dan meninggalkan fasilitas itu dalam kondisi bersih setelah memakainya.
Namun, layanan toilet umum bersih tetap saja belum merata tersedia di banyak daerah di Indonesia.
Di sebagian pasar tradisional, taman kota, dan fasilitas publik lain, kualitasnya tidak terjamin dengan baik.
Belum lagi perilaku penggunanya.
Masih jamak ditemukan perilaku buruk pengguna WC umum, manajemen perawatan buruk, serta penyediaan fasilitas yang terkesan asal-asalan sehingga cepat rusak.
Hal ini berkorelasi dengan perilaku buang air besar sembarangan (BABS) yang masih dipraktikkan sebagian warga, termasuk di Jakarta dan sekitarnya.
Dari data Sanitasi Total Berbasis Masyarakat, akses warga Jakarta terhadap jamban sudah mencapai 97,80 persen atau tertinggi se-Indonesia.
Namun, masih ada 50.015 keluarga yang sehari-hari BABS.
Secara nasional, Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan, akses publik terhadap fasilitas sanitasi yang layak dan aman pada 2020 adalah 79,53 persen.
Meskipun demikian, persentase sanitasi aman jauh lebih kecil dibandingkan sanitasi layak, yakni kurang dari 10 persen.
Jadi, walau ada perbaikan dari tahun ke tahun, pekerjaan rumah Indonesia mewujudkan toilet dan sanitasi bersih untuk semua warganya masih menumpuk.
Memperbaiki Ekonomi
Seperti di Indonesia, negara seperti China dan India yang sama-sama memiliki wilayah luas serta jumlah penduduk terbanyak di dunia juga dibelit isu toilet dan sanitasi buruk.
Berbeda dengan India yang masih disebut compang-camping dalam mengatasi isu toilet dan sanitasi, China termasuk yang sangat serius memperbaiki diri.
”Negeri Tirai Bambu” sigap menyambut ide revolusi toilet yang diajukan oleh Badan PBB untuk Anak-anak (Unicef) untuk negara-negara berkembang.
Sejak tahun 2009, di bawah Presiden Xi Jinping, digulirkanlah program Revolusi Toilet China.
Gerakan berbenah toilet China ini lebih lambat dibandingkan dengan di Indonesia.
Akan tetapi, hasilnya, pada tahun 2017, layanan sanitasi dasar telah bisa diakses 84,8 persen dari total populasi sebanyak 1,4 miliar jiwa atau naik tinggi dari angka 56,3 persen dari tahun 2000.
Di kawasan perkotaan yang berkembang kencang di China, seperti dilaporkan dalam kanal daring CGTN, pemerintah menggelontorokan 1,64 miliar yuan atau setara 232 juta dollar AS untuk Revolusi Toilet pada periode 2015-2017.
Salah satu program unggulannya adalah membangun toilet umum higienis kelas tiga atau standar minimum berukuran 2 meter persegi-2,9 meter persegi per unit.
Pada 2019, diperkirakan lebih dari 120.000 toilet kelas tiga terbangun di tempat umum dan obyek wisata.
Selain itu, ada pembangunan ribuan toilet kelas dua dan kelas satu yang lebih luas (3 meter persegi-7 meter persegi); nyaman; makin lengkap dengan pernak-pernik seperti cermin, tisu toilet, dan pembersih tangan; serta ditata dengan artistik.
Namun, China tidak hanya memoles toiletnya.
Jutaan hingga miliaran dollar AS dana pemerintah digunakan untuk meratakan penyempurnaan sistem sanitasi yang mengutamakan kebersihan, kenyamanan, dan estetika serta etika kawasan, lalu mengintegrasikannya dengan sistem pembuangan serta pengelolaan air limbah modern.
Hal ini menjadi tujuan utama revolusi toilet perkotaan.
Saat ini, sikap orang China dalam buang hajat di tempat umum ataupun di rumahnya sendiri berangsur-angsur berubah, baik di perdesaan maupun perkotaan.
Angka BABS di sana makin mengecil.
Jack Sim, pendiri Organisasi Toilet Dunia pada 2001, menegaskan, kunci keberhasilan revolusi toilet adalah China berpijak pada keyakinan bahwa dengan menumbuhkan budaya toilet sehat, ada manfaat kesehatan dan ekonomi langsung untuk masyarakat.
Keyakinan itu yang tak lupa ditanamkan kepada warganya sejak awal program ditetapkan.
Salah satu tips China berhasil dalam revolusi toiletnya adalah masifnya pembelajaran kebersihan dan etiket toilet di tingkat anak-anak sekolah dasar.
Anak-anak yang terbiasa dengan toilet bersih efektif memengaruhi perubahan perilaku orang dewasa di sekitarnya.
Lingkungan serta wajah kota dan desa membaik dengan adanya sistem sanitasi yang baik, saluran air dan sungai-sungai terbebas dari ekskreta manusia.
Penyakit menular akibat mengonsumsi produk yang terkontaminasi kuman dalam feses atau urine bisa ditekan seminimal mungkin.
Ini berarti anak-anak bisa tumbuh lebih sehat, pelajar bersemangat, dan pekerja tangguh juga ahli-ahli berbagai bidang ilmu yang mumpuni.
Peningkatan kualitas hidup masyarakat mendorong ekonomi berputar cepat di semua lini.
Inklusif
Peter Hawkins, ahli sanitasi dalam tulisannya di laman Bank Dunia, menyatakan, peremajaan sistem sanitasi perkotaan mendesak diwujudkan mengingat sebagian besar populasi kini tinggal di kawasan urban.
Menurut dia, wajib memperhatikan lima hal dalam membangun sistem sanitasi urban.
Pertama, tulis Hawkins, sanitasi urban adalah rantai layanan yang berkesinambungan.
Perlu infrastruktur memadai dari penyediaan toilet skala individu, komunal, hingga di fasilitas publik.
Kemudian disambung dengan sistem sanitasi tertutup antibocor yang mengantarkan ekskreta publik ke pengolahan air limbah terpusat.
Poin kedua, sanitasi urban dan pengolahan limbah wajib inklusif dan prowarga miskin, yang diimplementasikan dalam kerangka kerja penataan kota.
Selanjutnya, fasilitas publik ini tidak dapat dipisahkan dari sistem pengelolaan air perkotaan.
Di kawasan yang rawan banjir, sistem sanitasi dan pengolahan air limbah harus terintegrasi dengan infrastruktur pengendalian bencana.
Sistem sanitasi buruk, seperti tangki septik yang rawan rembes atau kolam pembuangan terbuka, bisa dengan mudah meluapkan dan mengalirkan limbah serta bibit penyakit ke segala penjuru kota.
Keempat, kebijakan sanitasi dituntut transparan, konsisten, dan mengadopsi tuntutan global saat ini, yaitu ramah lingkungan.
Adopsi teknologi murah dan mudah bisa dilakukan melalui kerja sama dengan berbagai organisasi dunia ataupun nasional.
Kelima, karena terbatasnya keuangan pemerintah, muncullah era baru membangun infrastruktur kota, termasuk untuk pembangunan sistem sanitasi dengan mengikutsertakan sumbangsih dari masyarakat dan pihak swasta (public private partnership).
Sumbangsih masyarakat itu dapat dijaring dengan beragam cara.
Suatu komunitas di lokasi tertentu bisa diinisiasi mengumpulkan dana sukarela untuk turut membangun toilet dan mengolah limbah komunal.
Dari hasil diskusi bersama, bisa diputuskan warga dikenai iuran rutin bulanan untuk pemakaian serta perawatan toilet, sistem sanitasi, dan pengolahan limbah.
Hal itu tentu disesuaikan dengan kemampuan ekonomi warga setempat.
Untuk fasilitas publik dan tempat wisata, pengenaan biaya kepada setiap orang yang menggunakan toilet umum jamak diterapkan.
Di Stasiun Sentral Zurich, Swiss, misalnya, setiap orang harus membayar 2 franc Swiss (CHF) untuk buang air.
Di Paris, Perancis, saat ini tersedia 400 toilet umum yang serba otomatis dan higienis sekaligus gratis.
Namun, di beberapa tempat wisata di Paris ada fasilitas toilet berbayar.
Disarankan tidak mencari toilet di stasiun kereta ataupun di terminal bus karena mungkin tidak tersedia, rusak, atau dalam kondisi buruk.
Toilet umum berbayar atau tidak, semua kembali pada kebutuhan, kesepakatan, dan kebijakan di tiap daerah.
Yang lebih penting adalah keseriusan pemerintah dan ketegasan untuk berpihak mengatasi isu sanitasi buruk secara menyeluruh dengan kebijakan dan target jelas.
Warga metropolitan yang buang hajat di sungai atau tempat terbuka sepatutnya tidak ada lagi di abad ke-21 ini.
Jika China bisa, langkah yang sama semestinya bisa dikerjakan di Indonesia. (Neli Triana) [gab]
Artikel ini telah tayang di Kompas.id dengan judul “Revolusi Toilet”. Klik untuk baca: Revolusi Toilet - Kompas.id.