WahanaNews-Aceh I Kendati sudah 3 bulan tidak digaji, Zamzami, seorang guru honorer SDN 2 Langkahan Aceh Utara, tetap mengajari murid.
Dia memakai masker sebelum masuk ke ruang belajar para guru honorer di pedalaman Aceh Utara tetap mengajar.
Baca Juga:
Skandal Uang Damai, Kapolsek Baito dan Kanit Reskrim Dicopot dari Jabatan
Seperti dikutip dari Serambinews.com Kamis (14/10/2021) karena kalau mereka tidak mengajar, belum tentu ada guru honorer lain yang bersedia datang ke sekolah. Sementara guru PNS bertumpuk di perkotaan dan pusat kecamatan, bagaimana sikap pemerintah dan wakil rakyat di DPRK Aceh Utara? Berikut hasil penelusuran wartawan Serambi Indonesia, Jafaruddin.
JAM sudah menunjukkan pukul 06.55 WIB, Zamzami mengeluarkan sepeda motor (sepmor) maticnya. Udara di luar rumah masih terasa dingin. Sejurus kemudian, guru honorer itu sudah mengendalikan ‘kuda besi’ tersebut melaju melintasi jalan nasional. Tujuannya Sekolah Dasar Negeri (SDN) 1 Langkahan di Desa Alue Krak Kaye, Aceh Utara.
Ayah dua anak tersebut memang sudah membiasakan diri berangkat pukul 07.00 WIB dari rumah. Butuh waktu satu jam untuk sampai ke sekolah yang terpaut sekitar 29 kilometer dari rumahnya, di Desa Lueng Bata, Kecamatan Baktiya, Aceh Utara.
Baca Juga:
Jaksa Tuntut Lepas Guru Supriyani dari Seluruh Dakwaan Kasus Kekerasan Anak
Tapi setengah perjalanan atau sesampai di kawasan Matang Seurdang Kecamatan Tanah Jambo Aye, tiba-tiba sepmor terasa tidak stabil dan berat. Pria kelahiran 1980 itu kemudian berhenti untuk memastikan kondisi motornya. Ternyata ban yang sudah terlihat mulus karena aus, kempis.
Padahal Zamzami masih butuh waktu setengah jam lagi untuk menjangkau sekolahnya agar tak terlambat masuk ruang kelas. Tak ada pilihan lain, dia mencoba menaiki motornya itu dengan kondisi ban kempis agar cepat ke tempat tambal ban. Otaknya mulai berkecamuk, ban yang sudah rusak itu tak bisa ditambal lagi, sedangkan untuk menggantinya ia tak memiliki cukup uang.
Beruntung saat itu ada guru satu sekolah yang melintas, sehingga Zamzami bisa mengutang pada temannya. Namun, Zamzami tak bisa sampai ke sekolah seperti biasanya.
Zamzami adalah guru honorer di SDN 2 Langkahan. Ia sudah mengajar 12 tahun lalu, dengan pendapatan per bulan Rp 400 ribu dari sekolah. “Setiap hari biaya uang bensin sepeda motor Rp 15 ribu. Sedangkan untuk kebutuhan lainnya, saya tutupi dengan pergi kebun peninggalan orangtua untuk memetik cokelat dan jeruk nipis, kemudian kami jual ke pasar pada hari minggu,” ujar ayah dua anak tersebut.
Keadaan nyaris serupa juga dialami Hartini, guru honorer asal Desa Cibrek Tunong Kecamatan Syamtalira Aron, Aceh Utara. Ia sudah lebih 14 tahun menjadi guru honorer di SDN 1 Geureudong Pase.
Sekolah itu berjarak sekitar 35 kilometer dari rumahnya. Sehingga setiap hari, kecuali Minggu, Hartini harus berangkat dari rumahnya sekira pukul 06.30 WIB. Karena butuh waktu 1,5 jam perjalanan dengan menggunakan sepeda motor.
Sebagian jalan yang sudah rusak parah membuat perjalanan Hartini menjadi lebih lambat. “Saya mulai mengajar di SDN 1 Geureudong Pase 2007 dengan SK kepala sekolah. Kemudian 10 tahun kemudian baru menjadi honorer dengan gaji Rp 300 ribu per bulan,” ujar Hartini.
Hartini harus bekerja sampingan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, termasuk mengisi minyak sepeda motornya ke sekolah. Ia membawa tebu yang sudah dipotong-potong kecil untuk dijual di sekolah.
Kendati tidak mendapat honor lagi, karena pemerintah sudah memutuskan kontrak dari Agustus-Desember 2021, tapi Hartini masih tetap mengajar. “Guru pegawai negeri sipil (PNS) di sini 3 orang. Sedangkan rombongan belajar mencapai 13, kemudian guru honorer 13 orang. Jadi kalau kami tak mengajar, bagaimana nasib murid di sini,” ujar Hartini.
Terkena refocusing
Setelah refocusing pada awal tahun 2021, Pemkab Aceh Utara hanya dapat mengalokasikan dana untuk gaji 4.202 tenaga honorer dan guru honorer selama tujuh bulan, yaitu dari Januari-Juli 2021.
Dari 4.202 honorer Aceh Utara yang sudah berakhirnya kontraknya pada Juli 2021, sebanyak 2.568 di antaranya berada di jajaran Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Disdikbud). Mereka terdiri atas 385 guru TK, 1.516 guru SD, 511 guru SMP, dan 156 orang tenaga administrasi. Artinya, mulai Agustus-Desember 2021, mereka tak lagi menerima honor karena dalam APBK Perubahan 2021 tidak dialokasikan lagi.
Sedangkan jumlah guru PNS di Aceh Utara yang mengajar mulai dari TK sampai SMP sebanyak 3.861 orang. Kendati jumlah guru PNS lebih banyak, namun mayoritas mereka mengajar di perkotaan atau di pusat kecamatan. Sedangkan di kawasan pedalaman diisi mayoritas guru honorer.
Pelaksana Tugas (Plt) Kepala Disdikbud Aceh Utara, Jamaluddin MPd, kepada Serambi mengaku sudah mencoba mengantisipasi persoalan terbatasnya anggaran itu, yakni dengan meminta para kepala sekolah menggunakan Dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS), karena Kementerian Pendidikan Kebudayaan Riset dan Teknologi membolehkannya.
“Sifat penggunaan dana BOS tersebut itu sangat fleksibel, asal tidak tumpang tindih. Jadi kepala sekolah itu dapat menggunakan dana tersebut untuk biaya honor guru honorer di sekolahnya, sehingga proses belajar mengajar tetap berlangsung,” ujar Jamaluddin.
Jamaluddin juga membenarkan jika Aceh Utara masih kekurangan guru, karena sudah lama pemkab tidak mengusulkan penambahan melalui seleksi Calon Penerimaan Pegawai Negeri Sipil (CPNS). Sementara di sisi lain, guru yang pensiun setiap tahun terus bertambah.
Pihaknya juga sudah berupaya mendistribusikan guru agar lebih merata, supaya tidak terjadi penumpukan seperti sebelumnya. “Sekarang tidak ada lagi penumpukan guru di pusat kota, karena sudah kita distribusikan dengan merata. Bahkan sekarang ada guru yang harus mencari sendiri jam belajar ke sekolah lainnya agar mencapai jam mengajarnya sesuai yang ditentukan,” katanya.
Tetap Mengajar
Ketua Guru dan Tenaga Kependidikan Honorer Non Kategori Usia 35 Tahun ke atas (GTKHNK 35+) Provinsi Aceh, Bahrul Kiram, SPdI MKomI mengaku baru tahu bahwa kontrak guru honorer di Aceh Utara telah berakhir setelah membaca media. “Kendati tidak digaji, mereka tetap mengajar, karena kalau mereka tidak mengajar, bisa macet proses belajar mengajar di sekolah, karena guru honorer lebih ramai dibandingkan PNS,” ujarnya.
“Mereka mengajar karena kemungkinan sudah mencintai pekerjaan dan sudah memiliki hubungan dengan muridnya, sehingga tetap mengajar meski tak digaji,” tambah Bahrul.
Para guru tersebut menurut dia, juga khawatir terhadap kelanjutan pendidikan anak-anak didiknya. Karena kalau mereka tidak mengajar, belum tentu ada guru honorer lain yang bersedia datang ke sekolah tempat mereka mengajar selama ini. “Kita sudah sampaikan permasalahan ini ke Pimpinan DPRK agar mendapat perhatian,” tuturnya.
Ketua DPRK Aceh Utara, Arafat SE, saat dikonfirmasi Serambi, menjelaskan, DPRK sebelumnya sudah mengusulkan kepada Pemkab agar gaji honorer untuk Agustus-Desember 2021 dimasukkan dalam APBK Perubahan. “(Tapi) Pemkab menyebutkan tidak ada sumber anggaran yang dapat dialihkan untuk gaji guru honorer,” ungkap Arafat.
Dia juga sudah menanyakan kemungkinan pengalihan sebagian kecil dana penanganan covid untuk gaji guru honorer. Tapi karena tidak dibenarkan secara aturan, maka dana tersebut tak bisa dialihkan. Padahal dana yang dibutuhkan tidaklah besar. Kalau dirincikan sekitar Rp 10.000 per hari, cukup untuk menutupi biaya BBM yang digunakan para guru ke sekolah yang tidak terlalu jauh dari rumahnya.
Lalu bagaimana untuk kebutuhan yang lain? “Ini harus dipikirkan oleh Bupati bersama Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD),” ujar Arafat.
Dia berharap ke depan persoalan pendidikan harus menjadi perhatian serius dari Pemkab, sehingga hal-hal ini seperti ini cepat teratasi sebelum terjadi. Sebab apabila jika para guru honorer tak sanggup datang ke sekolah karena tak ada biaya transportasi, maka proses belajar mengajar di Aceh Utara dipastikannya bisa berhenti. (tum)