WahanaNews-Serambi | Anggota Komisi IV DPRK Banda Aceh Musriadi meminta pemerintah kota setempat untuk membuat regulasi penguatan bahasa daerah sebagai langkah penyelamatan bahasa Aceh yang terancam punah.
"Kita berharap kepada Pemerintah Kota Banda Aceh untuk membuat sebuah regulasi yang mengharuskan masyarakat sehari-hari berbicara menggunakan bahasa Aceh," kata Musriadi, di Banda Aceh, Senin (06/02/23).
Baca Juga:
Bukan Isapan Jempol, BRIN Siap Gaji Talenta Iptek RI Selevel Negara Tetangga
Berdasarkan hasil penelitian Badan Riset Inovasi Nasional (BRIN) terdapat 169 dari 746 bahasa daerah yang ada di Indonesia terancam punah, salah satu bahasa daerah Aceh.
Musriadi mengatakan, regulasi yang dapat dilahirkan yakni membuat program sehari Banda Aceh berbahasa Aceh terhadap masyarakat kota, khususnya bagi aparatur sipil negara (ASN) di lingkungan pemerintah daerah setempat.
"Dengan adanya regulasi, maka itu bisa menjadi pijakan dalam mengimplementasikan bahasa Aceh sebagai kearifan lokal dan budaya daerah ini," ujarnya.
Baca Juga:
Pemkot Semarang dan BRIN Sukses Budidayakan Varietas Bawang Merah Lokananta Maserati
Untuk menyelamatkan atau menguatkan kembali bahasa daerah itu, kata dia, Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Disdikbud) Banda Aceh juga diminta berinovasi terhadap pembelajaran bahasa Aceh.
Menurut dia, langkah penting dan efektif dalam melestarikan bahasa Aceh itu idealnya dilakukan dari lembaga pendidikan dengan cara memaksimalkan dan mewajibkan mata pelajaran bahasa Aceh di sekolah, mulai tingkat pendidikan sekolah dasar/madrasah ibtidaiyah sampai tingkat sekolah menengah pertama/madrasah tsanawiyah.
"Seperti, membuat jam pelajaran bahasa Aceh, guru yang berkualifikasi atau berkompetensi khusus tentang bahasa Aceh, serta sarana dan prasarana penunjang pembelajaran pada semua jenjang pendidikan," katanya.
Tak hanya itu, dia juga berharap kepada perguruan tinggi, baik negeri maupun swasta di Aceh dapat membuka program studi khusus bahasa Aceh supaya bisa mengatasi kekurangan guru bahasa daerah yang berkualifikasi dan berkompeten di bidangnya.
"Berkaca dari fenomena yang ada, kita takutkan cepat atau lambat keberadaan bahasa Aceh akan terdegradasi dan punah, oleh karena itu pemerintah harus menyiapkan strategi untuk menghindari ini dari kepunahan," ujar Musriadi.
Sementara itu Badan Pusat Statistik (BPS) Aceh menyatakan bahwa berdasarkan laporan long form sensus penduduk 2020, penggunaan bahasa daerah Aceh berkurang di kalangan post gen Z yang lahir 2013 ke atas dibandingkan generasi pre boomer (sebelum 1945).
Penggunaan bahasa daerah ini secara berangsur-angsur menurun pada generasi selanjutnya, misalnya pre boomer (mulai usia 77 tahun) sebesar 89,93 persen, lalu pada baby boomer (58-76 tahun) sebesar 85,72 persen.
Kemudian, angkanya terus menurun pada generasi gen X (42-57 tahun) sebesar 82,27 persen, millenial (26-41 tahun) 79,76 persen, gen Z (10-25 tahun) sebesar 74,77 persen, dan generasi paling muda post gen Z (2-9 tahun) jumlahnya turun lagi menjadi 64,36 persen.[zbr]