Zamzami adalah guru honorer di SDN 2 Langkahan. Ia sudah mengajar 12 tahun lalu, dengan pendapatan per bulan Rp 400 ribu dari sekolah. “Setiap hari biaya uang bensin sepeda motor Rp 15 ribu. Sedangkan untuk kebutuhan lainnya, saya tutupi dengan pergi kebun peninggalan orangtua untuk memetik cokelat dan jeruk nipis, kemudian kami jual ke pasar pada hari minggu,” ujar ayah dua anak tersebut.
Keadaan nyaris serupa juga dialami Hartini, guru honorer asal Desa Cibrek Tunong Kecamatan Syamtalira Aron, Aceh Utara. Ia sudah lebih 14 tahun menjadi guru honorer di SDN 1 Geureudong Pase.
Baca Juga:
Skandal Uang Damai, Kapolsek Baito dan Kanit Reskrim Dicopot dari Jabatan
Sekolah itu berjarak sekitar 35 kilometer dari rumahnya. Sehingga setiap hari, kecuali Minggu, Hartini harus berangkat dari rumahnya sekira pukul 06.30 WIB. Karena butuh waktu 1,5 jam perjalanan dengan menggunakan sepeda motor.
Sebagian jalan yang sudah rusak parah membuat perjalanan Hartini menjadi lebih lambat. “Saya mulai mengajar di SDN 1 Geureudong Pase 2007 dengan SK kepala sekolah. Kemudian 10 tahun kemudian baru menjadi honorer dengan gaji Rp 300 ribu per bulan,” ujar Hartini.
Baca Juga:
Jaksa Tuntut Lepas Guru Supriyani dari Seluruh Dakwaan Kasus Kekerasan Anak
Hartini harus bekerja sampingan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, termasuk mengisi minyak sepeda motornya ke sekolah. Ia membawa tebu yang sudah dipotong-potong kecil untuk dijual di sekolah.
Kendati tidak mendapat honor lagi, karena pemerintah sudah memutuskan kontrak dari Agustus-Desember 2021, tapi Hartini masih tetap mengajar. “Guru pegawai negeri sipil (PNS) di sini 3 orang. Sedangkan rombongan belajar mencapai 13, kemudian guru honorer 13 orang. Jadi kalau kami tak mengajar, bagaimana nasib murid di sini,” ujar Hartini.
Terkena refocusing