Serambi.WahanaNews.co, Banda Aceh - Berkunjung ke Monumen Nasional (Monas) adalah hal yang tidak boleh dilewatkan oleh setiap orang saat mengunjungi Jakarta. Monas dikenal sebagai ikon Kota Jakarta dengan lidah api emas di puncaknya.
Namun, ternyata masih banyak yang belum tahu kalau lidah api emas yang berada di bagian puncak Monas tersebut merupakan pemberian dari filantropi asal Aceh bernama Teuku Markam. Sebagai informasi, 28 kg dari 38 kg lempengan emas yang melapisinya adalah sumbangan dari Teuku Markam.
Baca Juga:
Sederet Kebijakan Rizal Ramli untuk RI yang Patut Diapresiasi
Lantas, siapakah itu Teuku Markam? Yuk, simak pembahasannya berikut ini.
Profil Singkat Teuku Markam
Mengutip dari "Teuku Markam: Kisah Murah Seorang Filantropi Bangsa" yang disusun oleh Hasbullah, Teuku Markam merupakan seorang keturunan uleebalang (bangsawan) di Aceh. Ayahnya bernama Teuku Marhaban yang berasal dari Gampong Alue Campli, Kecamatan Seuneudon, Aceh Utara.
Baca Juga:
Panglima Agus Subianto Kunjungi Sesepuh TNI Jenderal TNI (Purn) Try Sutrisno
Teuku Markam yang diperkirakan lahir pada tahun 1925 harus menjadi anak yatim piatu ketika berusia sembilan tahun. Ia kemudian diasuh oleh Cut Nyak Putroe yang merupakan kakaknya.
Saat memasuki usia remaja, Teuku Markam memasuki pendidikan wajib militer di Koeta Radja (Banda Aceh) Setelah berhasil lulus dengan gelar Letnan Satu, Teuku mendapatkan kesempatan untuk bergabung dengan Tentara Rakyat Indonesia (TRI).
Selama bertugas di TRI, Teuku Umar diutus oleh Kolonel Bejo ke Bandung menjadi ajudan Jenderal Gatot Subroto. Melalui Jenderal Gatot Subroto, ia mendapatkan kesempatan untuk diperkenalkan oleh Presiden Soekarno.
Saat berpangkat Kapten (NRP 12276), Teuku Markam kembali ke Aceh untuk mendirikan PT Karkam. Ia akhirnya secara serius menggeluti dunia bisnis dan berhasil memperluas pasar dengan melakukan ekspor dan impor. PT Karkam berhasil menjadi pengimpor mobil Toyota Hardtop dari Jepang, besi beton, plat baja, dan senjata.
Teuku Markam Sumbang 28 Kg Emas di Monas
Berkat usahanya tersebut, Teuku Markam dikenal sebagai salah satu konglomerat. Bukan hanya sekedar sebagai konglomerat, ia juga dikenal akrab dengan pemerintahan Orde Lama, secara khusus dengan Presiden Soekarno.
Pada saat itu, hasil usaha yang dijalankan oleh Teuku Markam menjadi salah satu sumber APBN. Secara sukarela, ia menyumbangkan 28 kilogram emas untuk ditempatkan di puncak Monas yang menjadi impian Soekarno untuk mengangkat harkat dan martabat bangsa kepada dunia internasional.
Selain itu, Teuku Markam juga menyukseskan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Asia Afrika di Bandung. Banyak yang belum tahu, ia memberikan sejumlah bantuan dana untuk keperluan penyelenggaraan konferensi internasional tersebut.
Kisah Teuku Markam Dipenjara
Di balik kesuksesan Teuku Markam, terdapat kisah suram yang dialaminya. Bermula saat runtuhnya pemerintahan Orde Lama yang digantikan dengan pemerintah Orde Baru.
Ia dituduh terlibat dalam G30S/PKI, koruptor, dan Soekarnoisme. Hal ini yang membuatnya dijebloskan ke dalam sel tanpa proses pengadilan yang berlangsung sejak tahun 1966.
Selama hukumannya, ia sempat dipindahkan penjaranya beberapa kali. Pada tahun 1972, Teuku Umar jatuh sakit dan dirawat di RSPAD Gatot Subroto selama dua tahun.
Setelah dirawat selama dua tahun, ia akhirnya dibebaskan pada tahun 1974. Menariknya, ia dibebaskan begitu saja tanpa tanpa adanya kompensasi dari pemerintahan Orde Baru.
Pada 14 Agustus 1966, seluruh aset yang dimiliki Teuku Markam diambil alih oleh Soeharto selaku Ketua Presidium Kabinet Ampera. Setelahnya, aset-aset tersebut dikelola PT PP Berdikari di bawah pimpinan Suhardiman namun atas nama pemerintah Republik Indonesia.
Sebelum meninggal dunia pada tahun 1985, Teuku Markam sempat mendirikan usaha baru dengan nama PT Marjaya. Usaha ini berfokus menggarap proyek-proyek dari Bank Dunia untuk pembangunan infrastruktur di Aceh dan Jawa. Barat.
Namun, pemerintahan Orde Baru tidak mau meresmikan proyek-proyek raksasa yang dikerjakan oleh PT Marjaya. Hingga akhirnya Teuku Markam meninggal di Jakarta akibat komplikasi berbagai penyakit.
[Redaktur: Amanda Zubehor/Detik]