WahanaNews-Aceh I Rencana Pemerintah Aceh untuk melanjutkan pembangunan rumah duafa tahun ini melalui APBA Perubahan (APBA-P) belum ada kejelasan, karena dewan di DPRA belum satu suara. Sikap mereka terpecah, sebagian setuju dan sebagiannya lagi tidak.
Tak hanya pembangunan rumah duafa yang terancam gagal, tapi juga bantuan keuangan untuk kabupaten/kota dalam penanganan Covid-19 yang di dalamnya pembayaran insentif tenaga kesehatan (nakes) di tingkat kabupaten/kota.
Baca Juga:
DPRK Pidie Resmi Lakukan PAW Empat Anggota Legislatif Fraksi PDA
Juru Bicara Pemerintah Aceh, Muhammad MTA yang dihubungi Serambinews.com, Selasa (14/9/2021) mengatakan, Pemerintah Aceh sudah sangat siap melakukan perubahan.
Bahkan eksekutif sudah melakukan koordinasi dan komunikasi dengan pimpinan DPRA.
“Pemerintah Aceh juga sudah meminta pokok-pokok pikiran anggota dewan hasil reses untuk dimasukkan dalam APBA-P 2021. Saat ini eksekutif sedang menunggu respon dari dewan terkait kepastian pembahasan perubahan,” kata MTA.
Baca Juga:
AMPeS: Aksi Desak Pj Gubernur Aceh Surati KPK, Periksa Walikota Subulussalam
Pada perubahan nanti, lanjut MTA, Pemerintah Aceh akan bangun 4.000-5.000 unit rumah duafa. Bahkan pemerintah menargetkan, bisa bangun 6.000 unit sebagaimana target RPJMA periode ini. Sementara rumah yang sedang dibangun dengan APBA murni atau APBA 2021 hanya 780 unit.
Selain itu, pada perubahan nanti juga terdapat bantuan keuangan untuk kabupaten/kota dalam penanganan Covid-19.
Dimana dana tersebut difokuskan untuk penanganan wabah corona, termasuk untuk membayar insentif tenaga kesehatan di tingkat kabupaten/kota.
Terkait dengan waktu, MTA menyatakan pemerintah memiliki waktu yang cukup sampai akhir Desember 2021 untuk membangun ribuan rumah duafa.
“Waktunya cukup. Karena pembangunan rumah duafa dilakukan bukan dengan sistem tender tapi melalui sistem e-katalog,” terangnya.
Sejumlah fraksi di DPRA juga menyatakan, sepakat dengan adanya perubahan. Ketua Fraksi Demokrat dan Fraksi PAN, HT Ibrahim dan Muchlis Zulkifli sama-sama mengaku, sangat sepakat dengan adanya perubahan.
Tapi keduanya mengaku, sampai hari ini pimpinan DPRA belum mengagendakan rapat, apakah perubahan tetap ada atau tidak.
“Sampai hari ini belum ada jadwal pembahasan. Tapi kami Fraksi Demokrat setuju dengan adanya APBA perubahan,” ungkap Ibrahim.
Muchlis Zulkifli juga menyampaikan, keputusan ada atau tidaknya perubahan ada di tangan ketua DPRA, Dahlan Jamaluddin.
“Ketua-ketua fraksi dalam rapat sebelumnya sudah sepakat, untuk membahas persoalan ini di Banggar,” ujarnya.
Pria yang akrab disapa Ngoh ini mengaku, sudah pernah menelepon Ketua DPRA untuk mempertanyakan soal ini.
“Tapi sampai hari ini tidak jelas kapan rapatnya. Kita sangat menyayangkan sikap yang tidak jelas ini. Masalah sepakat atau tidak harus disampaikan dalam rapat,” tambahnya.
“Saya ditelepon oleh masyarakat dari Indrapuri. Ia menanyakan soal rumah duafa. Saya bilang pembangunan rumah duafa ada di APBA perubahan nanti. Sedih sekali saya lihat tempat tinggalnya, hampir nangis saya. Apa yang harus saya sampaikan jika perubahan ini tidak jadi,” ungkap Muchlis.
Sikap berbeda ditunjukkan oleh dua fraksi lain yang berhasil dihubungi Serambinews.com. Yaitu Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Fraksi Partai Nanggroe Aceh (PNA).
Kedua fraksi ini sepakat, menolak adanya pembahasan APBA-P 2021.
Ketua Fraksi PPP, Ihsanuddin MZ mengaku APBA-P tahun 2021 tidak mungkin lagi dibahas. Sebab sampai saat ini, Pemerintah Aceh belum menyerahkan rancangan perubahan KUA PPAS sebagaimana yang diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) 12 tahun 2019.
“Hemat saya, melihat aturan atau regulasi yang ada, terutama PP 12 tahun 2019 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah, sudah tidak memungkinkan lagi. Untuk melakukan APBA-P, eksekutif harus memasukkan rancangan perubahan KUA PPAS ke DPRA paling telat minggu pertama Bulan Agustus, tapi sekarang sudah minggu ke 2 September,” jelasnya.
Kemudian, dalam Pasal 179 ayat 3 PP 12 tahun 2019 juga disebutkan bahwa "Penetapan rancangan Perda tentang perubahan APBD dilakukan setelah ditetapkannya Perda tentang pertanggungjawaban pelaksanaan APBD tahun sebelumnya".
"Di sini tidak multitafsir. Sedangkan di Aceh, Qanun Laporan Pertanggungjawaban Pelaksanaan APBA tahun sebelumnya (2020) ditetapkan dengan Pergub karena DPRA menolaknya. Karena Pergub, maka DPRA tidak berani membahas APBA-P," kata Ihsanuddin.
Selain itu, tambahnya, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) juga sedang mengawal dan memantau proses perencanaan dan penganggaran APBA-P tahun 2021.
KPK akan mengambil langkah-langkah kongkrit, jika dalam proses tersebut ditemukan adanya tindakan yang melanggar peraturan perundangan yang berlaku.
Hal itu sesuai dengan isi Surat Edaran Nomor 8 Tahun 2021 tertanggal 30 Maret 2021.
Jika Pemerintah Aceh mengaku tetap bisa melakukan perubahan, Ihsanuddin menilai eksekutif terlalu memaksa kehendak.
"Terlalu dipaksakan, sebenanya pemerintah harus menggenjot realisasi APBA murni 2021 yang sampai saat ini masih rendah realisasinya," ujarnya.
Sementara Ketua Fraksi PNA, Safrizal Gam-gam menyampaikan alasan pihaknya menolak adanya APBA-P tahun 2021, karena pemerintah Aceh tidak melakukan tahapan penganggaran sesuai dengan aturan.
“Masih ada masalah,” kata Gam-gam.
Anggota Fraksi PNA, Samsul Bahri ben Amiren alias Tiyong kembali mempertegas bahwa pihaknya tidak sepakat dengan APBA-P.
“Fraksi PNA tetap mengacu pada PP 12 tahun 2019 dan tidak mungkin kami sepakat dengan APBA Perubahan, apapun alasan politiknya,” katanya.
Lalu, Tiyong yang juga menjabat Ketua Umum PNA mempertanyakan kepada Pemerintah Aceh bahwa jika mengingkan adanya APBA perubahan kenapa tidak diusulkan tepat waktu sesuai dengan peraturan perundang-undangan?
“Bila ada anggota DPRA yang mau APBA perubahan dengan alasan untuk menampung pembangunan rumah duafa, di APBA tahun 2021 semua rumah duafa pokir anggota dewan ditampung dan di eksekusi. Pertanyaannya ada nggak anggota dewan itu mengusulkan rumah duafa di APBA 2021? Kalau tidak ada, berarti cuma alasan dia agar kepentingan pribadi dia terakomodir, sementara nama kaum duafa yang dikorbankan,” tutup Tiyong.
Menyahuti penjelasan Ihsanuddin dan Tiyong, Juru Bicara Pemerintah Aceh Muhamamd MTA menerangkan, bahwa tidak ada kaitan pembahasan APBA-P dengan penetapan Pergub tentang pertanggungjawaban pelaksanaan APBA tahun 2020.
Menurut MTA, PP 12 tahun 2019 hanya mengatur soal waktu.
Sementara penekanannya adalah APBA-P dapat dilakukan setelah adanya penetapan pertanggungjawaban pelaksanan APBA tahun sebelumnya atau tahun 2020, baik melalui qanun maupun pergub.
“Tidak pada persoalan apakah harus melalui qanun atau pergub. Penjelasan ini sudah pernah disampaikan oleh Dirjen Bina Keuangan Daerah Kemendagri, Dr Mochamad Ardian Noervianto MSi kepada Pemerintah Aceh dalam satu kegiatan yang diikuti DPRA secara virtual pada 7 September lalu,” ungkap MTA.
Dalam kegiatan itu, lanjut MTA, Dirjen Bina Keuangan Daerah Kemendagri menyampaikan bahwa ada dua syarat membahas APBA-P. 1), Pelaksanaan anggaran tahun berjalan sudah melampaui 1 semester atau 6 bulan. 2), Telah dilakukan audit BPK.
“Bahkan dalam audit BPK, Aceh mendapatkan predikat WTP. Dan DPRA kami kira sudah paham karena juga ikut mendengar penjelasan ini dari Kemendagri. Soal tanggapan fraksi yang tidak sepakat dengan APBA-P, Pemerintah Aceh tidak bisa menanggapinya,” kata MTA. (tum)