SERAMBI.WAHANANEWS.CO, Subulussalam - Pemilu nasional dan pemilu lokal mulai 2029 nanti akan diselenggarakan terpisah. Hal tersebut telah diputuskan Mahkamah Konstitusi (MK), Kamis (26/6/2025) dalam sidang pleno.
Dimana, pemilu DPRD dan kepala daerah dilakukan 2 tahun atau paling lama 2 tahun 6 bulan setelah pemilu anggota DPR, DPD dan presiden/wakil presiden.
Baca Juga:
Kepala Desa Jangan Takut untuk Bersuara, Tolak Semua Titipan yang Menguras Dana Desa
Terkait hal itu, Mantan Ketua Panwaslih Kota Subulussalam Edi Suhendri, SKM pun berkomentar.
Menurutnya, jika 2029 tak ada pilkada, maka bisa diangkat Plt jika periode gubernur/wali kota/bupati berakhir di 2029.
Kemudian, jika jabatan kepala daerah kosong, maka dapat diisi dengan pejabat penjabat oleh Mendagri dengan periodisasi sampai pilkada dilaksanakan di 2031.
Baca Juga:
KIP Aceh Besar Tetapkan Muharram-Syukri Sebagai Bupati dan Wakil 2024
"Namun yang agak sulit, jika masa jabatan DPRD berkahir di tahun 2029. Jika kosong, amat mustahil diisi dengan penjabat. Karena jumlahnya bisa ribuan se Indonesia. Kemungkinan yang bisa terjadi, DPRD hasil pemilu 2024 akan menjabat hingga 2031," jelasnya.
Lanjut Edi Suhendri, masa jabatan kepala daerah hanya 5 tahun. Jika pilkada nanti akan dilaksanakan pada Juni 2031, maka kemungkinan jabatan kepala daerah di daerah-daerah hasil pilkada 2024 dan 2025 akan angkat pejabat-penjabat kepala daerah.
"Namun aturan itu bisa saja berubah seperti penambahan menjadi 7 tahun 6 bulan. Apakah akan diperpanjang dari 5 tahun menjadi 7 tahun 6 bulan, itu tergantung dari aturan yang akan dibuat DPR RI," tambahnya.
Dengan demikian, lanjut Edi Suhendri, Putusan MK Nomor 60/PUU-XXII/2024 akan batal.
Putusan tersebut mengatur syarat parpol atau gabungan parpol yang bisa mengajukan pasangan calon yaitu parpol atau gabungan parpol yang memiliki capaian ambang batas perolehan suara hasil pemilu.
Misalnya provinsi dengan jumlah penduduk yang termuat pada daftar pemilih tetap sampai dengan 2.000.000 (dua juta) jiwa, parpol atau gabungan parpol peserta pemilu harus memeroleh suara sah paling sedikit 10 persen di provinsi tersebut.
Karena pemilu DPRD provinsi dan pilkada dilakukan bersamaan di hari dan jam yang sama, maka syarart perolehan hasil pemilu untuk pencalonan pilkada tidak akan berlaku.
Pada pilkada yang digelar sebelum tahun 2024, syarat parpol dan gabungan parpol bisa mengajukan calon pilkada adalah yang nemiliki kursi sebayak 20 persen dari jumlah anggota DPRD hasil pemilu.
"Namun pada pilkada 2024, MK memutuskan syarat perolahan jumlah kursi diganti dengan syarat jumlah perolehan suara hasil pemilu. Namun pada pilkada di 2031 kemungkinan syarat ambang batas perolehan suara juga akan hilang. Karena pemilu dan pilkada dilakukan di hari dan jam yang sama," jelasnya.
Dengan demikian, kata dia, semua parpol peserta pemilu bisa saja mengajukan pasangan calon kepala daerah. Jika parpol peseerta pemilu terdiri dari 10, maka memungkinan jumlah pasangan calon menjadi 10 pasang.
Putusan MK itu tertuang dalam Nomor 135/PUU-XXII/2024 yang diajukan oleh Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem).
Mulai 2029, keserentakan penyelenggaraan pemilu yang konstitusional adalah dengan memisahkan penyelenggaraan pemilu anggota DPR, anggota DPD dan presiden/wakil presiden (Pemilu nasional) dengan penyelenggaraan pemilihan umum anggota DPRD provinsi/kabupaten/kota serta gubernur/wakil gubernur, bupati/wakil bupati, dan wali kota/wakil wali kota (Pemilu daerah atau lokal).
Sehingga, pemilu serentak yang selama ini dikenal sebagai pemilu 5 kotak tidak lagi berlaku.
Menurut Majelis Hakim, penentuan keserentakan tersebut untuk mewujudkan pemilu yang berkualitas, serta memperhitungkan kemudahan dan kesederhanaan bagi pemilih dalam melaksanakan hak memilih sebagai wujud pelaksanaan kedaulatan rakyat.
Selain itu, Mahkamah juga mempertimbangkan bahwa hingga saat ini pembentuk undang-undang (UU) belum melakukan perubahan atas UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) sejak Putusan MK Nomor 55/PUU-XVII/2019 yang diucapkan tanggal 26 Februari 2020.
Kemudian, secara faktual pula, pembentuk undang-undang sedang mempersiapkan upaya untuk melakukan reformasi terhadap semua undang-undang yang terkait dengan pemilihan umum.
Dengan pendirian tersebut, penting bagi Mahkamah untuk menegaskan bahwa semua model penyelenggaraan pemilihan umum, termasuk pemilihan gubernur/wakil gubernur, bupati/wakil bupati dan wali kota/wakil wali kota yang telah dilaksanakan selama ini tetap konstitusional.
[Redaktur: Amanda Zubehor]