SERAMBI.WAHANANEWS.CO, Subulussalam - Sejumlah warga Aceh dari Kota Subulussalam menggelar aksi damai di kawasan Gajah Putih, tepatnya di Desa Lae Ikan, Kecamatan Penanggalan, yang merupakan wilayah perbatasan antara Aceh dan Sumatera Utara. Dalam aksi tersebut, warga membentangkan spanduk bertuliskan:
"KAMI RAKYAT ACEH MEMINTA PRESIDEN RI PRABOWO SUBIANTO UNTUK MEMERINTAHKAN TITO KARNAVIAN MENGEMBALIKAN 4 PULAU KE ACEH."
Baca Juga:
Teuku Sufrida Rayakan Milad GAM dan Adakan Doa Bersama Silaturahmi, Peduli Kaum Dhuafa di Rumahnya
Aksi ini digelar sebagai bentuk protes atas keputusan pemerintah pusat yang menetapkan empat pulau — Pulau Mangkir Kecil, Pulau Mangkir Besar, Pulau Panjang, dan Pulau Lipan — sebagai bagian dari wilayah Provinsi Sumatera Utara.
Mantan anggota DPRK Subulussalam periode 2019–2024, Bahagia Maha, yang juga politisi Partai Amanat Nasional (PAN), menegaskan bahwa keputusan tersebut tidak hanya keliru, tetapi juga bertentangan dengan dasar hukum dan sejarah. Menurutnya, berdasarkan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1956, keempat pulau tersebut secara historis dan administratif termasuk dalam wilayah Provinsi Aceh.
“Banyak dokumen dan bukti otentik, baik dalam bentuk perundang-undangan maupun peta kolonial Belanda tahun 1853, yang menunjukkan bahwa keempat pulau tersebut merupakan bagian dari Aceh,” ujar Bahagia Maha, yang dikenal sebagai “Singa Gedung DPRK” karena kiprahnya dalam memperjuangkan hak-hak masyarakat Subulussalam.
Baca Juga:
Eks Kombatan GAM Wilayah Kota Subulussalam, Gelar Doa Bersama
Ia juga menyebutkan adanya kesepakatan antara Pemerintah Provinsi Sumatera Utara dan Pemerintah Daerah Istimewa Aceh pada tahun 1992.
Kesepakatan tersebut ditandatangani oleh Gubernur Sumut Rajainal Siregar dan Gubernur Aceh Ibrahim Hasan, serta disaksikan oleh Menteri Dalam Negeri saat itu, Rudini. Dalam dokumen tersebut, secara jelas dinyatakan bahwa keempat pulau tersebut adalah bagian dari Aceh.
Bahagia Maha menilai keputusan Kementerian Dalam Negeri yang tertuang dalam SK Nomor 300.2.2-2138 Tahun 2025 berpotensi menimbulkan konflik antarwarga di dua provinsi bertetangga tersebut.