Serambi.WahanaNews.co | Indonesia kaya sumber energi terbarukan, seperti angin, matahari, air, panas Bumi, arus laut dan lain-lain dengan potensi bisa mencapai 442 GW.
Sayangnya, kekayaan yang berlimpah ini seakan terabaikan. Kapasitas terpasang baru 9,32 GW atau hanya sekitar 2% pada tahun 2019 yang lalu.
Baca Juga:
PLN Siap Wujudkan Target 75 GW Pembangkit EBT 2040 Lewat Kolaborasi Swasta
Bukan tanpa sebab pengembangan energi terbarukan di Indonesia masih penuh tantangan. Berbagai kendala, seperti harga jual beli tenaga listrik dari energi terbarukan yang kurang menarik di mata pengembang, minimnya insentif fiskal, serta kebijakan yang mudah sekali berubah, membuat pengembangannya lamban.
Seperti contoh di Provinsi Aceh atau dulu disebut Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) adalah salah satu dari 34 provinsi di seluruh Indonesia tempat di mana ujung salah satu patok NKRI dibangun yakni Tugu Kilometer Nol yang berada di Pulau Weh (Sabang).
Berada di ujung barat Indonesia, Provinsi Aceh memiliki potensi energi terbarukan baik dari pembangkit tenaga air (hydropower) maupun panas Bumi mencapai 3.978 MW sesuai data Dinas Pertambangan dan Energi (Distamben) Aceh pada tahun 2017. Yang di mana dapat menjadi cadangan mengatasi krisis energi listrik selama ini di Aceh.
Baca Juga:
PLN Siap Wujudkan Target 75 GW Pembangkit EBT 2040 Lewat Kolaborasi Swasta
Untuk cadangan hydropower Aceh mencapai 2.863 MW. Padahal, kebutuhan energi listrik sekarang hanya 450 MW, tambah cadangan 50 persen menjadi 675 MW.
Bila mengacu pada statistik kebutuhan dasar listrik yang hanya 450 MW, maka bila potensi energi geothermal (1.115 MW) saja dimaksimalkan, maka kebutuhan energi listrik di Aceh berlebihan.
Dengan besarnya cadangan tersebut Provinsi Aceh tidak akan mengalami krisis listrik. Namun ada kendala yang sangat besar dalam mewujudkanya seperti penjelasan di atas.