Serambi.WahanaNews.co | Berdasarkan surat laporan Masyarakat pemko Subulussalam kepada pihak pemerintahan Kota Subulussalam, sudah beberapa kali bahkan sudah melaksanakan Rapat dengar Pendapat (RDP) yang di Fasilitasi pihak DPRK Subulussalam dengan Pihak BPN juga dengan pihak perusahaan PT. Laot Bangko.
"Namun sampai saat ini, persoalan Sengketa tapal batas HGU PT Laot Bangko dengan lahan perkebunan masyarakat dan juga Tapal Batas dengan Hutan Kawasan Ekosistem Louser (KEL) belum ditetap kan secara terbuka dan disaksikan oleh masyarakat, sehingga menjadi polimik bahkan menjadi konflik berkepanjangan dengan pihak masyarakat kota Subulussalam", jelas Rambe kepada awak media ini, Senin (17/07/23).
Baca Juga:
Ormas LAKI Apresiasi Kapolres Subulussalam untuk Tepati Janji Jumat Curhat
"Kami dari perwakilan masyarakat Kota Subulussalam meminta dengan hormat kepada Bapak PJ Gubernur Aceh, untuk dapat kira nya memerintah kan Kanwil pertanahan Provinsi Aceh dan Dinas terkait turun ke Daerah kota Subulussalam untuk menginvestigasi dan menuntaskan persoalan dugaan penjualan lahan tanah yang ada di sekitar perusahaan tersebut", tutur Rambe.
Lagi kata Rambe, karena kami menduga bahwa perpanjangan Izin HGU PT. Laot Bangko yang di terbitkan oleh Menteri ATR/BPN tahun 2021, tidak sesuai dengan yang ada di lapangan sehingga menjadikan persoalan setiap hari tengah masyarakat.
Sesuai dengan Izin HGU
Baca Juga:
Kejari Subulussalam Kumpulkan Data Terkait Penggunaan Dana KONI
Setelah dikonfirmasi, SK itu pun dibenarkan oleh Kantor Pertanahan Kabupaten Aceh Singkil dan Kepala Perwakilan Kantor Pertanahan Kota Subulussalam.
Dalam SK itu menerangkan, PT Laot Bangko sebelumnya memiliki areal HGU seluas 6.818,91 hektare sesuai dengan sertifikat tertanggal 8 Agustus 1997 Nomor 1488/1997, diterbitkan berdasarkan Keputusan Kepala Badan Pertanahan Nasional pada 29 Desember 1989 Nomor 18/HGU/BPN/1989 yang berakhir haknya pada 31 Desember 2019.
Sesuai dengan keterangan dari pihak Pemerintah kota Subulussalam menjelaskan bahwa tanah yang dimohon pihak perusahaan sesuai dengan luas semula yakni seluas 6.818,91 hektare.
Namun, setelah dilakukan pengukuran ulang secara kadastral oleh Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional (BPN) Provinsi Aceh diperoleh hasil pengukuran keliling batas bidang tanah seluas 6.818,91 hektare dan dikeluarkan atau di-enclave seluas 3.114,81 hektar.
"Jadi luasan perpanjangan HGU untuk perkebunan kelapa sawit PT Laot Bangko hanya seluas 3.704,10 hektare lagi".
Selain dari pada itu masyarakat kota Subulussalam menganggap keberadaan Perusahaan perkebunan PT. Laot Bangko, selama ini sangat meresahkan bagi masyarakat, belum lagi mengenai persoalan Kepatuhan perusahaan terkait dengan amdal sehingga tidak mengindahkan peraturan Menteri lingkungan hidup tentang menjaga kelestarian Alam dan terbukti di lapangan.
"Perusahaan tersebut telah menanami Kelapa sawit sampai kepinggiran bibir sungai, bahkan mengakibatkan erosi dan banjir juga pendangkalan sungai di wilayah kota Subulussalam juga menghancurkan sumber mata air PDAM Kota Subulussalam dimana jelas di ketahui PDAM tersebut adalah satu-satunya sumber kehidupan masyarakat kota Subulussalam", sampai Rambe.
Bahkan didalam kawasan HGU PT. Laot Bangko, diduga telah melakukan kegiatan diluar izin dengan melakukan Galian C, tanpa izin, PT Laor Bangko diduga tidak mematuhi UU NO.5 Tahun1990, tentang Konservasi sumberdaya alam.
PT. Laot Bangko tidak mematuhi UU no.32 tahun 2009. Tentang Perlindungan dan pengelolaan lingkungan Hidup.
PT. Laot Bangko diduga tidak mematuhi peraturan menteri perkebunan terkait dengan Plasma sesuai dengan Permentan Tahun 2007 no. 26 pasal 11, tentang kewajiban membangun Kebun untuk masyarakat sekitar paling rendah seluas 20% dari luas areal kebun yang diusahakan.
PT. Laot Bangko diduga Tidak mematuhi UU Menteri Tenaga Kerja No.13 tahun 2003, sesuai dengan pasal 1313 KUHP perdata yang menyebutkan, bahwa perjanjian adalah suatu perbuatan dengan satu orang atau lebih dan mengikat kan diri nya terhadap satu orang atau lebih dalam pasal 1320. KUHP perdata terdapat syarat syarat suatu perjanjian yang sah.
"Untuk itu kami atas nama Ormas Laskar Anti Korupsi Indonesia (LAKI) DPC Kota Subulussalam meminta kepada Bapak Pj Gubernur Aceh sekaligus instansi terkait untuk dapat bertindak dan memerintahkan BPN dan Dinas Pertanahan untuk segera menentukan tapal Batas resmi, sesuai dengan Izin HGU yang di izinkan pemerintah demi menghindari Konflik berkepanjangan di tengah-tengah masyarakat khususnya kota Subulussalam", tutup Rambe.[zbr]