SERAMBI.WAHANANEWS.CO, Subulussalam - Ketua Komisi B Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Kota Subulussalam, Hasbullah, Inspeksi Mendadak (Sidak) ke lokasi operasional perkebunan PT. Sawit Panen Terus (SPT) di wilayah Kecamatan Sultan Daulat, Kota Setempat, Rabu (23/7/2025).
Sidaknya ini, menyusul dengan mencuatnya isu publik terkait dugaan kuat bahwa perusahaan tersebut, beroperasi tanpa legalitas izin resmi serta tanpa dokumen Analisis Dampak Lingkungan (AMDAL) yang sah secara perundang-undangan.
Baca Juga:
DPRK: Wali Kota Dinilai Tidak Serius Urus Kebijakan Anggaran Daerah
Hasil kunjungan lapangan yang dilakukan oleh tim Komisi B, menunjukkan sejumlah indikasi pelanggaran yang sangat serius terhadap regulasi tata kelola lingkungan dan perizinan usaha perkebunan di wilayah Aceh.
Ada sebanyak Tiga temuan krusial yang ditemukan oleh tim Hasbullah di lapangan, yakni.
1. Elevasi dan Kemiringan Tidak Sesuai Regulasi.
Baca Juga:
Gubernur Aceh Lantik Muhammad Nasrun Mikaris dan Nusar Amin sebagai Bupati Simeulue
Hasbullah mengaku menemukan bahwa elevasi dan kemiringan lahan yang digunakan PT. SPT berada pada sudut yang tidak sesuai dengan regulasi konservasi tanah dan air.
"Ini sangat berbahaya karena dapat menyebabkan erosi, longsor, dan kerusakan ekologis jangka panjang,” cetus Hasbullah.
2. Jarak Terlalu Dekat dengan Bibir Sungai.
Kata Hasbullah, lokasi pembukaan lahan sangat terlalu dekat dengan aliran sungai, yang dapat menimbulkan sedimentasi dan pencemaran badan air.
"Hal ini, sangat bertentangan dengan ketentuan jarak sempadan sungai yang seharusnya dipatuhi oleh semua perusahaan. Namun, PT SPT mengabaikan hal itu. Mereka, telah menanami Kelapa Sawit di sempadan sungai," kata Hasbullah.
3. Tidak Melakukan Reboisasi 100 Meter dari Areal Sungai.
Temuan Hasbullah di lapangan, PT. SPT telah melanggar Surat Edaran Gubernur Aceh Nomor 525/1175 tanggal 16 April 2025.
"Secara tegas melalui surat itu, Gubernur Aceh mewajibkan setiap perusahaan melakukan reboisasi di sepanjang kiri dan kanan sungai sejauh minimal 100 meter dari batas areal yang dibuka. PT SPT yang tidak mempunyai dokumen perizinan yang lengkap ini telah mengabaikan itu," ujar Hasbullah.
Selain itu, Hasbullah juga menambahkan. Dilapangan, pihaknya juga menemukan bukti nyata adanya pembukaan lahan buffer zone kawasan ekosistem Leuser, yang seharusnya menjadi zona penyangga dan tidak boleh digarap.
Tak hanya itu, terdapat aktivitas galian C di aliran sungai tanpa izin resmi untuk pengambilan batu kerikil sebagai pengerasan Jalan perusahaan. Hal ini jelas melanggar pasal 158 undang-undang nomor 3 tahun 2020 tentang Minerba yang dapat dipidana 5 tahun penjara dan denda hingga 100 miliar rupiah.
Dugaan pelanggaran ini berpotensi melibatkan berbagai pelanggaran hukum dan administratif, di antaranya.
- UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
- Pasal 36 menyatakan bahwa setiap usaha dan/atau kegiatan yang berdampak besar dan penting terhadap lingkungan hidup wajib memiliki AMDAL.
- Peraturan Pemerintah (PP) No. 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional. Menetapkan bahwa sempadan sungai adalah minimal 100 meter untuk sungai besar dan minimal 50 meter untuk sungai kecil, sebagai zona perlindungan ekosistem.
Bahkan, diketahui juga perusahaan yang mengatasnamakan PT SPT ini juga belum memiliki izin land Clearing.
- Permen LHK No. P.27/MENLHK/SETJEN/KUM.1/7/2018 tentang Pedoman Penyusunan dan Penilaian Dokumen Lingkungan Hidup Memuat kewajiban perusahaan dalam menyusun dokumen AMDAL dan mengintegrasikannya dalam rencana operasional.
- Surat Edaran Gubernur Aceh No. 525/1175/2025 Memerintahkan seluruh pelaku usaha di sektor perkebunan dan kehutanan melakukan reboisasi aktif minimal 100 meter dari sempadan sungai yang telah dibuka oleh kegiatan pembukaan lahan.
"Itu semua ditiadakan oleh perusahaan yang mengatasnamakan PT SPT ini," imbuh Hasbullah.
Aadapun Komitmen Komisi B, meniadakan toleransi untuk Pelanggaran Lingkungan.
Hasbullah menyatakan bahwa pihaknya akan segera menindaklanjuti hasil inspeksinya itu, dengan memanggil manajemen PT. SPT untuk dimintai klarifikasi resmi.
Selain itu, Komisi B juga akan merekomendasikan agar instansi terkait seperti DLHK Subulussalam, Dinas Perkebunan, dan DINAS Perizinan serta Kepolisian di Subulussalam segera mengambil langkah hukum terhadap pelanggaran yang dilakukan oleh perusahaan yang mengatasnamakan PT SPT itu.
"Kami ingin tegaskan bahwa tidak ada ruang bagi perusahaan yang mengabaikan aturan dan merusak lingkungan. Setiap kegiatan usaha harus berdiri di atas legalitas dan tanggung jawab ekologis." Jelas Hasbullah.
Tuntutan Publik dan Kesadaran Lingkungan.
Perkebunan yang mengatasnamakan PT SPT tanpa dokumen perizinaan yang lengkap ini, telah mendapat perhatian luas dari masyarakat setempat dan aktivis lingkungan yang selama ini menyoroti ekspansi perkebunan sawit yang tidak terkendali di wilayah Subulussalam.
Kekhawatiran terhadap pencemaran sungai, konflik agraria, hingga hilangnya tutupan hutan menjadi latar munculnya tekanan terhadap DPRK dan pemerintah daerah untuk bertindak tegas.
Mengingat, pembukaan lahan secara masif tersebut, juga menyebabkan kerusakan parah di SUB-DAS tiga desa yaitu Batu Napal, Namo Buaya dan Singgersing.
Untuk langkah selanjutnya dalam Sidak Hasbullah, Komisi B DPRK akan menyusun laporan investigatif lengkap dan menyerahkannya langsung ke Gubernur Aceh serta Penegakan Hukum Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (GAKKUM KLHK).
"Terkait ini, saya akan mengusulkan Pansus DPR untuk menelusuri izin-izin serupa di wilayah lain yang berpotensi bermasalah," pungkas Hasbullah.
[Rdaktur: Amanda Zubehor]