Anggota Komisi I DPR Aceh Ridwan Yunus, saat memberikan tanggapan mengatakan, Google Maps tidak bisa jadi patokan. Begitu juga menyangkut dengan kepemilikan tanah.
"Penyelesaian tapal batas ini tidak boleh anarkis tapi harus melalui dokumen administrasi yang lengkap untuk dapat disampaikan kembali ke Pemerintah Pusat," ujarnya.
Baca Juga:
Perang Melawan Narkoba: Polda Sumut Ungkap 32 Kasus dan Sita 201 Kg Sabu, 272 Kg Ganja serta 40.000 butir Ekstasi
Kepala Kantor Pertanahan Aceh Singkil, Muhammad Reza, juga membenarkan bahwa Google Map tidak bisa dijadikan landasan atau payung hukum dalam penetapan suatu daerah administratif.
Ia sarankan mengacu pada Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor: 30 Tahun 2020 tentang Batas Daerah Kabupaten Aceh Singkil Provinsi Aceh dengan Kabupaten Tapanuli Tengah Provinsi Sumatera Utara.
"Untuk memastikan ada atau tidaknya caplok-mencaplok wilayah administrasi yang tidak sesuai dengan lampiran peta Permendagri Nomor 30 Tahun 2020, maka hendaklah dilakukan ploting area untuk lokasi yang terindikasi adanya kegiatan tersebut," tukasnya.
Baca Juga:
Lengkap Penderitaan ! Jalan Rusak Sampah Menumpuk Tepat dibelakang Telkom Kota Perdagangan
Pada penutupan pertemuan, Azhar Abdurrahman menegaskan Komisi I DPRA akan inisiasi pembentukan Pansus tapal batas agar penyelesaiannya komprehensif. Sebab persoalan yang terjadi sudah sangat mengkhawatirkan dan berpotensi memicu konflik sosial.
"Pemerintah Aceh segera pasang patok batas dan surati Google Maps untuk meluruskan tagging dan coding batas Aceh-Sumut," pungkas Azhar Abdurrahman. (tum)