SERAMBI.WAHANANEWS.CO, Subulussalam - Ketegangan terkait lahan perkebunan di Kecamatan Penanggalan, Kota Subulussalam, kembali mencuat.
Rapat mediasi yang digelar oleh Muspika Kecamatan Penanggalan, dengan melibatkan Badan Pertanahan Nasional (BPN), pihak PT Laot Bangko, dan masyarakat setempat, mengungkap sejumlah persoalan serius terkait Hak Guna Usaha (HGU) PT Laot Bangko dan pembangunan Parit Gajah, pada 20 Juni 2025.
Baca Juga:
PT. Laot Bangko Gali Parit Gajah, Puluhan Warga Subulussalam Tutup Akses Jalan
Pertemuan yang berlangsung di Kantor Camat Penanggalan ini diwarnai oleh tuntutan masyarakat agar pembangunan Parit Gajah dihentikan sementara.
Isu dugaan manipulasi tapal batas HGU menjadi sorotan utama. Dicabutnya patok nomor 90 dan penyimpanannya di pos satpam PT Laot Bangko menimbulkan kecurigaan adanya upaya perluasan lahan secara ilegal oleh perusahaan.
Kesalahan dalam penetapan HGU, baik karena perbedaan teknologi registrasi, proses verifikasi, maupun akibat kesalahan manusia (human error), turut diangkat dalam rapat tersebut.
Baca Juga:
Presiden Prabowo Perintahkan HGU-HGB yang Jatuh Tempo Ditarik
Polemik juga mencuat terkait program plasma dan Corporate Social Responsibility (CSR) PT Laot Bangko. Ketidakjelasan implementasi program plasma serta minimnya transparansi pelaksanaan CSR sejak awal perusahaan beroperasi memicu kemarahan warga.
Dugaan adanya kolusi antara BPN dan PT Laot Bangko dalam proses penetapan HGU dan program plasma semakin memperkeruh situasi. Pembangunan Parit Gajah yang diduga memasuki lahan transmigrasi menambah kompleksitas konflik ini.
Pihak BPN Kota Subulussalam menyatakan bahwa kewenangan mereka terbatas dan hanya dapat bertindak berdasarkan dokumen HGU yang tersedia. Sementara itu, pengukuran ulang lahan yang diperlukan memerlukan biaya besar dan menjadi tanggung jawab Kantor Wilayah BPN Provinsi Aceh.
Hal ini menimbulkan kekecewaan masyarakat, khususnya warga Desa Penuntungan yang merasa lahan transmigrasi mereka terdampak oleh pembangunan Parit Gajah.
Rapat mediasi menghasilkan beberapa kesepakatan, antara lain:
1. Masyarakat diminta untuk menyiapkan dokumen dan data kepemilikan lahan yang diduga berada di dalam area HGU PT Laot Bangko.
2. Tim akan melakukan kunjungan lapangan untuk memverifikasi lokasi lahan yang dipermasalahkan serta memastikan batas wilayah pembangunan Parit Gajah.
3. Pembangunan Parit Gajah dihentikan sementara pada area yang sedang berkonflik, namun dapat dilanjutkan di area yang tidak bermasalah.
Manajer PT Laot Bangko, Asnadi, menyatakan harapannya agar pembangunan Parit Gajah tetap dapat dilanjutkan sesuai dengan tapal batas HGU yang dimiliki oleh perusahaan. Ia juga menegaskan bahwa pihak perusahaan tidak berniat merampas hak-hak masyarakat.
Namun demikian, temuan sejumlah bukti memperkuat dugaan adanya kolusi antara BPN Kota Subulussalam dan PT Laot Bangko dalam penetapan HGU. Sertifikat plasma yang hingga kini belum jelas statusnya turut memperbesar ketidakpercayaan publik.
Konflik lahan ini menuntut penyelesaian yang adil, transparan, dan mengedepankan prinsip hukum serta keadilan sosial.
Peran aktif pemerintah daerah dan aparat penegak hukum sangat diperlukan guna mencegah eskalasi konflik yang lebih besar, serta memastikan pembangunan Parit Gajah berjalan sesuai aturan tanpa merugikan hak masyarakat.
[Redaktur: Amanda Zubehor]