Serambi.WahanaNews.co | Perusahaan PT Laot Bangko diduga sengaja merusak Akses Jalan Pertanian perkebunan di Kampung Jontor, kecamatan Penanggalan, Kota Subulussalam, yang mengakibatkan para Petani pekebun kesulitan melintasi Jalan yang dirusak Oknum PT Laot Bangko, bahkan kaum ibu ibupun harus berjuang kuat agar mampu melintasi jalan yang diduga dirusak pegawai Pengaman PT Laut Bangko tersebut.
Peryataannya pihak yang mengaku dari PT Laot Bangko Satgas pengamanan menurutnya, "bukan pihak manajamen PT Laot Bangko tidak mau menyelesaikan Sengketa lahan ini, tapi pihak pemerintah setempatlah yang tidak mau menyelesaikan dalam RDP kembali. Kami dari PT manajemen Laot Bangko ingin menyelesaikan Tanah Masyarakat yang sengketa Ini." Begitu disampaikan saksi mata Dugaan pengrusakan Jalan pertanian Kampung Jontor tersebut, jelas AR Tinambunen kepada awak media ini Sabtu (22/07/23).
Baca Juga:
KHLK: Industri Pelet Kayu Gorontalo Berpotensi Gantikan Batubara untuk Listrik
"Kami Masyarakat kemukiman Jontor Sangat keberatan atas pengerusakan Jalan yang berdampak pada seluruh petani perkebunan yang ada di Jontor ini." Tegas AR Tinambunen Warga Kampung Jontor pada awak media.
Terlihat ibu Diana berutu, dan adeknya Uteng juga sedang membawa hasil kebunnya, kesulitan melintasi jalan yang dirusak oknum Pihak Perusahaan Laot Bangko.
Berkali-kali masyarakat Adat Kemukiman Penanggalan, telah berusaha untuk berjuang menguasai kembali Tanah Adat warisan leluhur masyarakat adat ini, pasca sudah dikeluarkannya Wilayah HGU PT Laot Bangko yang telah berkurang dari 6000 Ha menjadi Tiga ribuan hektar.
Baca Juga:
Menteri ATR/BPN AHY Sebut Anggaran Tambahan 2024 untuk Program Kementerian
Tetapi PT Laot Bangko masih tetap bersikukuh lahan yang sudah ditetapkan Menteri Agraria dari HGU terbaru tetap bersikukuh bahwa tanah masyarakat adat itu, masuk di HGU. Jelas-jelas dalam peta terbaru itu bukan lagi lahan HGU PT Laot Bangko.
"Harusnya PT Laot Bangko bersyukur tidak dituntut balik Komunitas masyarakat adat Kemukiman Penanggalan atas kelancangannya memanfaatkan lahan komunitas masyarakat kemukiman Penanggalan yang telah merugikan masyarakat adat Miliaran Rupian selama bertahun tahun. Mengambil keuntungan dari yang bukan Haknya (Alias diluar HGU PT Laot Bangko)." Tegas Ar. Tinambunen.
Subelumnya, Ormas LAKI DPC Kota Subulussalam dan LSM Suara Putra Aceh minta PJ Gubernur Aceh, agar menententukan tapal Batas HGU PT. Laot Bangko dengan Eks HGU, Yang telah di tentukan oleh Menteri ATR/BPN tahun 202.
Berdasarkan Surat laporan Masyarakat Pemkot Subulussalam kepada pihak pemerintahan Kota Subulussalam sudah beberapa kali, bahkan sudah melaksanakan Rapat dengar Pendapat (RDP) yang di Fasilitasi pihak DPRK Subulussalam dengan Pihak BPN juga serta pihak perusahaan PT. Laot Bangko yang dikenal perusahaan yang tidak menjalankan aturan tersebut.
Namun sampai saat ini persoalan Sengketa tapal batas HGU PT. Laot Bangko dengan lahan perkebunan masyarakat dan juga Tapal Batas dengan Hutan Kawasan Ekosistem Louser (KEL) belum ditetapkan secara terbuka dan disaksikan oleh masyarakat, sehingga menjadi polimik bahkan menjadi konflik berkepanjangan dengan pihak masyarakat kota Subulussalam .
Kami dari perwakilan masyarakat Kota Subulussalam meminta dengan Hormat kepada Bapak PJ Gubernur Aceh, untuk dapat kiranya memerintahkan Kanwil pertanahan Propinsi Aceh dan Dinas terkait untuk turun ke daerah kota Subulussalam menginvestigasi sekaligus menuntaskan persoalan dugaan penjualan lahan/tanah yang ada di sekitar Perusahaan tersebut
Karena kami menduga bahwa perpanjangan Izin HGU PT. Laot Bangko yang di terbitkan oleh Menteri ATR/BPN tahun 2021, tidak sesuai dengan yang ada di lapangan sehingga menjadikan sengketa pada masyarakat.
Sesuai dengan Izin HGU
Setelah dikonfirmasi, SK itu pun dibenarkan oleh Kantor Pertanahan Kabupaten Aceh Singkil dan Kepala Perwakilan Kantor Pertanahan Kota Subulussalam.
Dalam SK itu menerangkan, PT Laot Bangko sebelumnya memiliki areal HGU seluas 6.818,91 hektare sesuai dengan sertifikat tertanggal 8 Agustus 1997 Nomor 1488/1997, diterbitkan berdasarkan Keputusan Kepala Badan Pertanahan Nasional pada 29 Desember 1989 Nomor 18/HGU/BPN/1989 yang berakhir haknya pada 31 Desember 2019.
Sesuai dengan keterangan dari pihak Pemerintah kota Subulussalam menjelaskan bahwa tanah yang dimohon pihak perusahaan sesuai dengan luas semula yakni seluas 6.818,91 hektare.
Namun, setelah dilakukan pengukuran ulang secara kadastral oleh Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional (BPN) Provinsi Aceh diperoleh hasil pengukuran keliling batas bidang tanah seluas 6.818,91 hektare dan dikeluarkan atau di-enclave seluas 3.114,81 hektar.
"Jadi luasan perpanjangan HGU untuk perkebunan kelapa sawit PT Laot Bangko hanya seluas 3.704,10 hektare lagi".
Selain dari pada itu masyarakat kota Subulussalam menganggab keberadaan Perusahaan perkebunan PT. Laot Bangko, selama ini sangat meresahkan bagi masyarakat, belum lagi mengenai persoalan, Kepatuhan perusahaan terkait dengan Amdal sehingga tidak mengindahkan peraturan Menteri lingkungan hidup tentang pentingnya menjaga kelestarian alam.
Terbukti di lapangan, perusahaan tersebut telah menanami Kelapa sawit sampai kepinggiran bibir sungai, bahkan mengakibatkan erosi dan banjir serta terjadi pendangkalan sungai di wilayah kota Subulussalam yang diduga diakibatkan menghancurkan sumber mata air PDAM Kota Subulussalam. Jelas diketahui PDAM tersebut adalah satu-satunya sumber AIR kehidupan untuk masyarakat kota Subulussalam.
Bahkan didalam kawasan HGU PT. Laot Bangko diduga telah melakukan kegiatan diluar ijin dengan melakukan Galian C, tanpa izin.
PT Laot Bangko diduga tidak mematuhi UU NO.5 TAHUN 1990, tentang Konservasi Sumber daya alam PT. Laot Bangko tidak mematuhi UU no.32 tahun 2009, tentang Perlindungan dan pengelolaan lingkungan Hidup.
PT. Laot Bangko diduga tidak mematuhi peraturan Menteri perkebunan terkait dengan Plasma sesuai dengan Permentan Tahun 2007 Nomor 26 Pasal 11 tentang kewajiban membangun Kebun untuk masyarakat sekitarnya paling rendah seluas 20% dari luas areal kebun yang di usahakan .
PT. Laot Bangko diduga Tidak mematuhi UU Menteri Tenaga Kerja No.13 .tahun 2003. sesuai dengan pasal 1313 KUHP Perdata yang menyebutkan bahwa perjanjian adalah suatu perbuatan dengan satu orang atau lebih dan mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih dalam pasal 1320 KUHP perdata terdapat syarat-syarat suatu perjanjian yang sah.
"Untuk itu kami atas nama Ormas Laskar Anti Korupsi Indonesia (LAKI) DPC Kota Subulussalam dan LSM Suara Putra Aceh meminta kepada Bapak Pj. Gubernur Aceh sekaligus instansi terkait untuk dapat bertindak dan memerintahkan BPN DAN Dinas Pertanahan untuk segera menentukan Tapal Batas Resmi sesuai dengan Izin HGU yang di ijinkan pemerintah demi menghindari Konflik berkepanjangan di tengah tengah masyarakat, khususnya kota Subulussalam" tegas Ahmad Rambe Pimpinan Orgnisasi Masyarakat Anti Rasuah Tersebut.
Pimpinan LSM Suara Putra Aceh Kota Subulussalam dalam upaya mengavodkasi masyarakat, "dalam waktu dekat kita akan sampaikan kepada Aliansi Masyarakat Adat Nusantara untuk ikut berjuang mempertahankan Tanah Leluhur masyarakat Adat Kemukiman Penanggalan Kota Subulussaalm, termasuk kerusakan AMDAL selama beroperasinya PT Laot Bangko dikota Subulussalam." Tegas Pimpinan LSM Suara Putra Aceh tersebut.